REPUBLIKA.CO.ID, GAZA – Komisaris Jenderal Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) Philippe Lazzarini membantah kabar yang menyebut bahwa PBB akan kembali membuka kamp pengungsian baru di Rafah untuk menampung penduduk sipil di Jalur Gaza. Hal itu menyusul kian intensifnya agresi Israel ke wilayah selatan Gaza yang sebelumnya menjadi tempat penduduk mengungsi.
“Kami sudah mengatakannya berulang kali. Kami mengatakannya lagi. Tidak ada tempat yang aman di Gaza, baik di selatan atau barat daya, baik di Rafah atau yang disebut ‘zona aman’ sepihak,” ujar Lazzarini saat menyanggah kabar tentang pembangunan kamp pengungsi baru oleh PBB di Rafah, Senin (4/12/2023), dikutip laman kantor berita Palestina, WAFA.
Baca Juga
2.000 Tentara Israel Alami Gangguan Mental Sejak 7 Oktober
Brigade Al-Qassam Hancurkan Lima Tank Israel dengan Peluru Al-Yassin 105
Turki Peringatkan Israel Tidak Buru Pejabat Hamas di Wilayah Teritorinya
Lazzarini turut mengomentari langkah Israel memerintahkan penduduk sipil di Gaza untuk mengungsi dari Khan Younis ke Rafah. “Perintah tersebut menimbulkan kepanikan, ketakutan, dan kecemasan. Setidaknya 60 ribu orang tambahan terpaksa pindah ke tempat penampungan UNRWA yang sudah penuh sesak, dan lebih banyak lagi yang meminta untuk dilindungi. Banyak dari mereka yang telah mengungsi lebih dari satu kali untuk melarikan diri dari perang di wilayah lain di Gaza,” ucapnya.
Dia menambahkan, perintah evakuasi Israel mendorong penduduk terkonsentrasi di wilayah yang kurang dari sepertiga wilayah Jalur Gaza. Mereka membutuhkan segalanya, mulai dari air, makanan, hingga tempat bernaung. Namun akses bantuan kemanusiaan ke sana tersumbat karena jalan-jalan di wilayah selatan Gaza tak dapat dilintasi akibat operasi militer Israel.
“Akses terhadap air terbatas, karena operasi Israel telah menghalangi akses ke pabrik desalinasi terbesar di Gaza yang sebelumnya menyediakan air minum untuk 350 ribu orang. Rumah sakit terbesar di Gaza selatan dengan lebih dari 1.000 pasien rawat inap dan menampung 17 ribu pengungsi mungkin akan berhenti beroperasi karena kurangnya pasokan dan personel yang tidak mencukupi,” ungkap Lazzarini.
Dia menekankan, perkembangan terakhir semakin menghambat operasi kemanusiaan di Gaza. Pengaturan logistik dan koordinasi yang rumit memperlambat, dan terkadang menghambat aliran bantuan. “Pemerintah Israel terus membatasi aliran pasokan kemanusiaan, termasuk bahan bakar, sehingga memaksa PBB untuk hanya menggunakan titik penyeberangan yang tidak lengkap dengan Mesir,” kata Lazzarini.
“Kami menyerukan kepada Negara Israel untuk membuka kembali Kerem Shalom dan penyeberangan lainnya serta memfasilitasi pengiriman bantuan kemanusiaan yang menyelamatkan nyawa tanpa syarat, tanpa gangguan, dan bermakna. Kegagalan untuk melakukan hal ini melanggar hukum kemanusiaan internasional,” tambah Lazzarini.
Saat pertempuran antara pasukan Israel dan Hamas berlangsung di wilayah utara, lebih dari 1 juta penduduk mengungsi ke wilayah selatan Gaza. Militer Israel mengklaim, pertempurannya di utara sudah hampir usai. Oleh sebab itu mereka beralih ke wilayah selatan.
Pada Senin lalu, militer Israel membantah tudingan yang menyebutnya berupaya mengusir penduduk Palestina keluar dari Jalur Gaza. Hal itu terkait dengan diintensifkannya serangan ke wilayah selatan Gaza yang menjadi tempat penduduk sipil mengungsi. “Kami tidak mencoba untuk menggusur siapa pun, kami tidak mencoba untuk memindahkan siapa pun dari mana pun secara permanen,” ujar Juru Bicara Pasukan Pertahanan Israel (IDF) Jonathan Conricus, dikutip laman Al Arabiya.
“Kami telah meminta warga sipil untuk mengevakuasi diri dari medan perang dan kami telah menyediakan zona kemanusiaan yang ditunjuk di dalam Jalur Gaza,” tambah Conricus merujuk pada wilayah pesisir kecil bernama Al-Mawasi.
Dia mengakui adanya keterbatasan ruang dan akses. “Itulah mengapa sangat penting untuk mendapatkan dukungan dari organisasi-organisasi kemanusiaan internasional untuk membantu infrastruktur di wilayah Al-Mawasi,” ujar Conricus.
Hingga Senin lalu, jumlah warga Gaza yang telah terbunuh akibat agresi Israel telah mencapai sedikitnya 15.900 jiwa. Sementara korban luka melampaui 41 ribu orang. Angka itu dihitung sejak dimulainya agresi Israel pada 7 Oktober 2023.
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini